Iman kepada takdir adalah salah satu rukun iman. Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang iman, “Yaitu kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [1]])
Ketika mendengar pengingkaran takdir yang dilakukan oleh sebagian penduduk Bashrah yang terpengaruh pemikiran Ma’bad al-Juhani, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan dengan tegas kepada Yahya bin Ya’mar dan Humaid bin Abdurrahman, “Apabila kamu bertemu dengan mereka, kabarkanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka telah berlepas diri dariku. Demi Allah yang dengan nama-Nya Abdullah bin Umar bersumpah! Seandainya salah seorang diantara mereka ada yang berinfak dengan emas sebesar Uhud maka Allah tidak akan menerimanya hingga mereka beriman kepada takdir.” Kemudian beliau membawakan hadits di atas sebagai dalilnya (lihat Syarh Muslim [2/15] cet. Dar Ibnu al-Haitsam)
[1] Kandungan Iman Kepada Takdir
Iman kepada takdir mencakup empat tingkatan:
- Mengimani ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu sebelum terjadinya
- Mengimani bahwa Allah telah menuliskan itu semua sebelum terjadinya
- Mengimani bahwa semua itu terjadi dengan kehendak dari-Nya
- Mengimani bahwa semua itu ada karena diciptakan oleh-Nya
Diantara dalil untuk keempat tingkatan ini adalah:
- Firman Allah (yang artinya), “Agar kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan bahwasanya Allah itu ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq: 12)
- Firman Allah (yang artinya), “Dan segala sesuatu telah kami catat dalam imam/kitab induk yang jelas.” (QS. Yasin: 12). Yang dimaksud kitab induk yang jelas adalah Lauhul Mahfuzh
- Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Qadar [2653])
- Firman Allah (yang artinya), “Seandainya Rabb-mu berkehendak niscaya seluruh yang ada di atas muka bumi itu pasti beriman.” (QS. Yunus: 99)
- Firman Allah (yang artinya), “Bagi siapa pun diantara kalian yang berkehendak untuk menempuh jalan yang lurus. Namun, kalian tidaklah berkehendak kecuali apabila Allah Rabb alam semesta juga menghendakinya.” (QS. at-Takwir: 28-29)
- Firman Allah (yang artinya), “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” (QS. az-Zumar: 62) (lebih lengkap lihat al-Mukhtashar fi ‘Aqidati Ahlis Sunnah fi al-Qadar karya Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah, hal. 17-25 cet. Dar al-Imam Ahmad)
[2] Dua Macam Kehendak Allah
Kehendak/irodah Allah terbagi menjadi dua macam:
- Irodah kauniyah; yaitu kehendak Allah yang mencakup segala hal yang terjadi di alam semesta. Apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa pun yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi. Bisa jadi hal itu dicintai dan diridhai oleh-Nya, atau justru sebaliknya; hal itu adalah perkara yang tidak dicintai dan tidak diridhai-Nya. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk mendapatkan hidayah maka Allah akan lapangkan dadanya untuk menerima Islam, dan barangsiapa yang Allah kehendaki untuk disesatkan maka Allah akan jadikan dadanya sempit dan sesak; seolah-olah dia sedang mendaki ke atas langit.” (QS. al-An’am: 125)
- Irodah syar’iyah; yaitu kehendak Allah yang terkandung dalam perintah-Nya, di dalamnya tercermin kecintaan dan keridhaan-Nya. Namun, apa yang dikehendaki-Nya menurut syari’at belum tentu terjadi kecuali apabila dikehendaki oleh-Nya secara kauni/irodah kauniyah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS. al-Baqarah: 185). Segala bentuk ketaatan adalah sesuatu yang Allah kehendaki secara syar’i (irodah syar’iyah), akan tetapi tidak setiap hamba menjadi pelaku ketaatan. Ada diantara mereka yang bermaksiat. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang taat bisa melakukan ketaatan dengan terkumpulnya kedua macam kehendak tersebut. Adapun orang yang bermaksiat, maka pada dirinya hanya terwujud irodah kauniyah. Allah -dengan hikmah-Nya- menghendakinya terjadi walaupun hal itu bukan perkara yang Allah cintai (lihat al-Mukhtashar fi ‘Aqidati Ahlis Sunnah fi al-Qadar, hal. 55-58)
[3] Buah Iman Kepada Takdir
Diantara faidah yang bisa dipetik dari beriman kepada takdir adalah ketenangan hati serta tidak mudah goncang dalam menghadapi pahit getirnya perjalanan hidup. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah di muka bumi atau pada diri kalian sendiri melainkan telah tercatat dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya hal itu bagi Allah sangatlah mudah. Supaya kalian tidak berputus asa atas apa yang telah luput dari kalian dan supaya kalian tidak terlalu bergembira atas apa yang Allah berikan kepada kalian.” (QS. al-Hadid: 22-23) (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 343-344)
Selain itu, orang yang beriman terhadap takdir akan memiliki keteguhan sikap dalam menghadapi berbagai cobaan, krisis, dan tekanan. Karena mereka meyakini bahwa hidup ini memang sebuah ujian. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Tidak akan menimpa kami kecuali apa yang memang Allah tetapkan atas kami. Dia lah penolong kami, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang beriman itu bertawakal.” (QS. at-Taubah: 51) (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 345)
Bahkan, dengan keimanan kepada takdir, seorang hamba bisa merubah bencana yang menimpanya menjadi pahala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah melainkan dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya. Dan Allah terhadap segala sesuatu Maha Mengetahui.” (QS. at-Taghabun: 11). ‘Alqomah berkata tentang maksud ayat ini, “Dia adalah seorang yang tertimpa musibah, maka dia menyadari bahwa hal itu datang dari Allah, oleh sebab itu dia pun merasa ridha dan pasrah.” Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tertimpa musibah kemudian bersabar maka Allah akan anugerahkan petunjuk ke dalam hatinya (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 345-346)
[4] Sabar Menghadapi Takdir
al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Sabar yang dipuji ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, [2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla, [3] kemudian sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan. Sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi perkara yang diharamkan lebih utama di atas kesabaran menghadapi takdir yang terasa menyakitkan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 279)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki hak untuk diibadahi oleh hamba di saat tertimpa musibah, sebagaimana ketika dia mendapatkan kenikmatan.” Beliau juga mengatakan, “Maka sabar adalah kewajiban yang selalu melekat kepadanya, dia tidak boleh keluar darinya untuk selama-lamanya. Sabar merupakan penyebab untuk meraih segala kesempurnaan.” (lihat Fath al-Bari [11/344]).
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim dalam Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq [2999])
[5] Kaum Penolak Takdir
Kaum penolak takdir/Qadariyah dapat dibagi menjadi 2:
- Qadariyah ekstrim yaitu yang mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu sebelum terjadinya. Mereka juga mengingkari apabila segalanya telah tertulis dalam lauhul mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah memang telah memerintah dan melarang, akan tetapi Allah tidak mengetahui siapakah yang akan taat dan siapa yang akan bermaksiat. Sehingga menurut mereka segalanya terjadi begitu saja secara tiba-tiba tanpa diketahui dan ditakdirkan sebelumnya oleh Allah. Aliran ini bisa dikatakan telah musnah atau hampir tiada
- Qadariyah yang mengakui ilmu Allah mencakup segalanya, akan tetapi mengingkari takdir Allah terhadap perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba tercipta secara merdeka sebagai hasil ciptaan mereka sendiri -bukan atas ciptaan dan kehendak Allah- dan inilah yang dianut oleh Mu’tazilah. Kebalikan dari aliran ini adalah kelompok yang ekstrim dalam menetapkan takdir, sampai-sampai mereka mengatakan bahwa hamba tidak lagi memiliki kemampuan dan pilihan atas perbuatannya sendiri. Menurut mereka hamba dalam keadaan mujbar/dipaksa dalam semua perbuatan mereka. Karena pemikiran itulah mereka disebut dengan Jabriyah (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 341 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
[6] Takdir Rahasia Allah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan penduduk surga dalam waktu yang sangat lama, namun kemudian akhir hidupnya ditutup dengan amalan penduduk neraka. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan penduduk neraka dalam waktu yang sangat lama, namun kemudian akhir hidupnya ditutup dengan amalan penduduk surga.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Qadar [2651])
Dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan penduduk surga dalam pandangan manusia, namun sebenarnya dia adalah penduduk neraka. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan penduduk neraka dalam pandangan manusia, namun sebenarnya dia adalah penduduk surga.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa as-Siyar [2898] dan Muslim dalam Kitab al-Qadar [112])